Selasa, 09 November 2010

Soo sweeet....


JUARA 1 KOMPETISI BLOG 1000 KISAH TENTANG IBU PERSEMBAHAN UNGU

(GAGAN PRIYATNA)

IBU DALAM BUKU HARIANKU
Ibu adalah setetes embun dalam kemarau panjang, selimut dalam malam yang kelam dan cahaya dalam kegelapan.

15 Agustus 2008
17.00 WIB, dipenghujung senja.
Diary, ternyata waktulah yang menikam relung-relung hitam yang pernah kutelan. Ia mengembalikan anganku ke lembah pilu yang berbaur luka. Dan entah mengapa malam ini hatiku begitu galau. Layar kenangan terbentang jika aku mengingat Ibu. Aku masih ingat betul setiap pagi sebelum aku bangun Ibu duduk disampingku, wajahnya kusut dan matanya menyusut. Ia menangis kesakitan.
Terkadang aku ikut haru dibawanya. Aku tahu Ibu menangis karena Ibu sudah kehabisan uang untuk membiayai kehidupanku sehari-hari. Bahkan ibu sudah tak sanggup untuk membiayaiku sekolah, bukan karena ia tak ingin melihat anaknya tumbuh cerdas. Tapi keadaan yang membuatnya hingga kini tak memiliki sepeserpun uang koin ataupun kertas.
Aku sadar betul Allah sedang menguji kami, oleh karena itu tak sedikitpun aku menyerah karena keadaan. Aku selalu memaksakan pergi sekolah meski ibu tak bisa memberiku bekal ataupun ongkos.

16 Agustus 2008
19.00 WIB, dipenghujung malam.
Malam ini aku sangat kedinginan, selimut hati hilang di ujung ranjang. Kini Ibu tak lagi disampingku, ia menjelajah mencari jejak kehidupan, apa lagi kalau bukan bekerja membanting tulang. Ibu pergi merantau ke Jakarta. Terkadang aku merasa menyesal karena pernah membuat Ibu menangis. Sekarang aku benar-benar kehilangan sesosok Ibu yang tegar, bukan itu saja, kini aku merasa asing dengan suasana rumah yang senyap tanpa suara Ibu ketika menasehatiku, suara lembut Ibu ketika membangunkanku untuk shalat shubuh dan kini aku rindu senyuman Ibu.
Aku masih ingat betul sebelum Ibu merantau ke Jakarta. Sebelumnya ia mengikuti test untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) untuk negara tujuan Arab Saudi. Namun miris setelah test medical malah kabar buruk yang aku terima. Dari hasil test labolatorium Ibu di-diagnosa mengidap Liver. Kenyataan itu pula yang menyebabkan batalnya Ibu untuk menjadi seorang TKW.
Aku pernah beberapa kali bilang pada Ibu agar ia membatalkan niatnya, namun semangat dalam dirinya begitu menggebu. Ibu melakukan beberapa pengobatan agar penyakit dalam tubuhnya sembuh, dan dengan begitu ibu bisa tetap berangkat ke Arab Saudi. Tapi, mungkin Allah tidak mengijinkan Ibu untuk menjadi TKW, karena Ibu sudah mengikuti test 8 kali namun semuanya gagal.
Ibu tak pernah menyerah, kenyataan jika ia gagal untuk menjadi TKW membuatnya membanting stear untuk menjadi seorang pekerja rumah tangga saja di Jakarta, padahal aku sudah melarangnya, namun Ibu tetap saja memaksa. Aku begitu malu pada Ibu yang begitu semangat untuk tetap membiayai hidupku.

20 Agustus 2008
12.00 WIB, siang bolong.
Diary, puji syukur Alhamdulillah hari ini aku bisa tetap makan meski hari ini aku makan dengan seadanya; ya ikan asin bekas hari kemarin.
Tapi hari ini Ibu makan apa ya? Apa malah Ibu belum makan sama sekali?
Ya Allah aku jadi teringat kejadian lalu, dimana saat itu Ibu tidak makan karena lebih mementingkan aku untuk makan lebih dulu. Aku sangat menyesal saat itu.

03 September 2009
01.00 WIB, saat malam akan terpejam.
Ibu, sudah satu tahun lebih Ibu merantau di Jakarta, bersamaan itu pula hari ini Ibu ulang tahun.
Oh, ya. Ingat ga, Bu. Dulu kita pernah merayakannya bersama, meski hanya dengan lilin dan kue tar semata namun kita berhasil menyatukan jiwa. Aku senang saat itu ketika aku bisa melihat Ibu tertawa lepas. Ibu kapan ya, moment itu bisa terulang kembali. Aku harap bisa berkumpul lagi seperti dahulu. Ibu aku sayang Ibu, dan Ibu adalah permata untuk hidupku.
============================================
"Diary ini aku tulis ketika masih duduk di kelas 2 SMA, dimana saat itu Allah sedang menguji keluarga kami dengan berbagai cobaannya, dan disanalah sesosok malaikat yang Allah anugerahkan kepadaku (IBU) yang tak henti menjagaku dan menyemangatiku. Terima kasih Ibu...."

Love You My Mom


Juara 2 Kompetisi Blog
Ma, Tolong Ajari Aku Arti Sebuah Ketulusan
(TEDY HO)

Bangun! Bangun! udah siang, begitu kalimat yang kudengar tiap pagi, sebagai pembuka hari. Padahal mentari belum terik-terik amat, aroma embun masih terendus, kira-kira pukul enam pagi. Namun begitulah Mama, selalu bangun paling awal diantara penghuni rumah. Setelah itu membangunkan yang lain. Rutinitas itu telah berlangsung puluhan tahun, sampai sekarang. Kalau dipikir-pikir malu juga udah bangkotan begini bangun pagi masih perlu alarm manual.

Meski begitu, Mama tak pernah bosan mengulang. Aku tahu, beliau melakukannya bukan mau mengganggu tidur nyenyak aku. Aku tahu, tiada setitik niatan pun untuk mengganggu kenyamanan aku. Mama melakukannya, semata-mata demi mengejar waktu memulai aktivitas hari. Demi ketepatan waktu dan disiplin.

Apalagi sebagai anak yang terlahir tidak sempurna, aku paling paham mengenai kehadiran seorang Mama. Paham bukannya karena pintar dibanding anak-anak yang lain. Paham bukannya karena sok tahu. Tidak… Tidak ada sedikit pun didalam otak untuk membusungkan dada. Tetapi, paham karena banyaknya waktu yang kulalui bersama, bersama Mama. Seperti kata pepatah asing yang sekali waktu pernah kudengar, “Experience make different”.

Sekilas tentang kondisi fisikku. Dua dekade lebih telah berlalu. Selama itu pula aku menikmati ketidaksempurnaan. Ya… Penyakit cacat lumpuh hinggap ditubuhku. Menyerang otot-otot tubuhku. Diagnosa para dokter, penyakitku belum ada obatnya. Dengan kata lain, aku harus menyandang tubuh lumpuh sampai nafas terakhir, sampai batas usiaku.

Namun aku takkan menyerah,

Apalagi aku masih boleh dibilang cukup beruntung. Beruntung masih terlahir sebagai anak manusia. Dari rahim seorang Mama yang hebat, sejauh yang pernah kurasakan.

Dari hal yang remeh temeh, sampai hal yang rumit, Mama tak pernah lalai mengulurkan tangannya untuk aku. Sehingga Mama seolah tidak adil dalam pembagian kasih sayangnya kepada saudara kandungku yang lain. Waktu yang dihabiskan bersamaku, tenaga yang dihabiskan bersamaku, telah menunjukkan ketidakadilan tersebut.

Kalau mau dihitung-hitung, dalam sehari aku bisa memanggil kata “Mama” puluhan kali. “Ma, aku mau inilah”, “Ma, aku mau itulah”. Jadi tidak heran kami yang paling sering berkomunikasi dalam keluarga.

Bahkan sejak aku sekolah Taman Kanak-kanak sampai duduk dibangku kuliah, aku selalu ditemani Mama. Pernah suatu waktu, kuliah dari pagi hingga malam, Mama tetap bersemangat. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit lelah. Aku tahu ada sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang sulit aku deskripsikan.

Mungkin untuk seorang pemuda lain seusiaku, yang sedang gagah-gagahnya, yang sedang menyelami kemandirian, yang sedang menikmati masa-masa indah berpacaran, tidak akan terasa begitu kentara peran tersebut. Hal yang sama juga sempat pula terlintas dipikiranku, andaikata aku sehat gagah, mungkin aku juga sulit merasakan getaran kasih sayang dari Mama. Saking sibuknya otak ini dijejali keinginan pencarian jati diri.

Meski Mama kelihatan hebat dimataku, Mama tetaplah manusia biasa. Yang memiliki emosi dan masih bisa marah, dan sesekali aku mengalami konflik kecil dengan Mama. Hal yang manusiawi menurutku. Sangat dapat kumaklumi. Dan sejauh yang kualami, marahnya Mama bebas kontaminasi dari unsur benci dan dendam. Sehabis marah Mama tidak segan-segan mengobrol dan bercanda lagi sama anak-anaknya. Kemarahan segera lenyap disapu gelombang kasih sayang. Kemarahan yang tak berarti sama sekali.

Dari semua hal yang kulalui bersama Mama, satu hal yang bisa kurasakan, yang dimiliki oleh Mama, sesuatu yang mengajariku untuk melakukan segalanya dengan hati, yaitu ketulusan. Apa namanya kalau bukan ketulusan, memberikan waktu, tenaga, dan kasih sayang secara cuma-cuma. Tanpa bayaran sepeser pun. Tanpa jaminan kepastian perlindungan hari tua dari anak-anaknya.

Setelah dewasa ini, dan telah melalui banyak hal bersama Mama, aku tidak meminta apa-apa lagi dari Mama, tidak meminta warisan apa pun, cukup sudah segala yang diberikan kepadaku. Hanya satu yang ingin sekali kumiliki dari sosok Mama, nilai yang teramat langka pada jaman sekarang, yang melakukan segala hal dengan hati, tanpa pertimbangan untung dan rugi, yaitu aku hanya minta ditularkan ketulusan.

Maaf! Maaf! tolong ajari aku arti sebuah ketulusan

Juara 3 Kompetisi Blog
Ibuku, Ibu Terhebat Di Dunia
(SRI MARLIA)

Entah dari mana harus ku mulai kisahku ini, namun yang paling aku ingat adalah, bahwa aku mempunyai ibu terhebat didunia….,

Aku terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, aku anak perempuan satu – satunya dari empat bersaudara, aku adalah si bungsu dipastikan bagaimana keluarga ku memanjakan hidupku.

Benar yang banyak diperbincangkan banyak orang, Roda dunia selalu berputar, hari ini adalah masa remajaku dimulai, aku masuk Sekolah Menengah Umum (SMU) ternama di Jakarta, setelah masa Orientasi siswa berakhir, di mulai lah tragedy dalam hidup ku… perusahaan ayahku terancam bangkrut, hutang ayah dimana – mana, rumah tempat tinggal kami pun terancam disita oleh bank, setelah melalui negosiasi yang panjang, perusahaan ayah tak dapat lagi dipertahankan.. kami benar – benar bangkrut. Tak pernah aku bayangkan, kehidupan seperti di sinetron menimpa hidupku, aku dan keluarga ku pindah ke daerah tangerang, karena ibu dan ayahku tak sanggup menahan malu atas segala hutang – hutang yang tak terbayar, sementara kakak – kakak ku tak mampu menanggung beban keluarga ku, karena mereka pun menanggung beban keluarga masing – masing, anak dan istri – istri mereka.

Akhirnya ayah tetap dijakarta bekerja sebagai supir taksi, berusaha menghidupi aku dan ibuku, terlebih biaya sekolahku memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Ibu mencoba membantu ayah, dengan berjualan kacang bawang dari satu kios ke kios lain, dari stasiun satu ke stasiun lainnya, kebetulan rumahku di tangerang dekat sekali dengan stasiun kereta, begitu juga denganku, pulang - pergi sekolah, naik – turun kereta, berangkat jam 04.30 pagi, saat ayam mulai berkokok, dan pulang petang hari saat matahari malu – malu membenamkan sinarnya, aku sama sekali tak merasa letih, tapi saat aku sampai kerumah pada sore hari, ibu ku masih tetap dengan sabar menanyakan perihal sekolah ku hari ini, masih dengan sabar menyendokan nasi untuk ku santap, padahal, aku bisa dengan jelas melihat keriput di tangannya…. Mata yang terlihat lelah, seharian harus menjajakan kacang, namum senyum tulus itu tak pernah pudar dari wajahnya.

Semakin hari, usaha ayah mengais rejeki di Jakarta semakin surut, ayah selalu bilang “susah mencari penumpang di Jakarta” beberapa kali ayah selalu bilang “aku habis dirampok di jalan tol, perampok itu menodongkan pistol ke arahku” lain waktu lagi ayah bercerita “ada seseorang yang memeberikan makanan dan minuman, setelah itu aku tak sadarkan diri, setelah ku terbangun, uang di kantong untuk setoran taksi raib” begitulah ayah…. Tapi ibu ku hanya sibuk membuka kemeja ayah yang lusuh untuk di cuci, mengelap keringat ayah yang mengalir di seluruh tubuhnya, membuatkan teh manis hangat, dan hanya berkata “sabar ayah, mungkin bukan rejeki kita” subhanallah ibuku…. Aku tau, mungkin hatinya saat itu sedang menjerit, ia sangat letih, tapak – tapak kakinya sudah tidak sekuat dulu lagi, ia berumur 58 saat ku tulis kisah ini, tapi semangatnya, melebihi aku yang masih berusia 17 tahun, karena pekerjaan ayah yang semakin hari semakin tak menghasilkan, ibu makin memperkeras usahanya, hanya untuk membeli beras dan biaya sekolahku, untuk lauk pauk, kami hanya memakan seadanya hanya udang rebon yang mampu ibu beli, aku bersyukur, karena kami masih bisa makan.

Suatu hari kejadian naas itu menimpa keluarga ku, karena ketelatenan ibu menjajakan kacang, ia tak lagi perduli waktu siang ataupun malam, aku ingat, saat itu beberapa hari yang lalu, aku mengabarkan pada ibu ku bahwa seminggu lagi aku ujian kenaikan kelas untuk ke kelas 3, dan membutuhkan biaya, malam itu ibuku pergi untuk mengantar kacang ke toko yang berjarak 1 km dari rumahku, dengan berjalan kaki, ibuku menyusuri jalan setapak yang cor diatas sakluran air komplek berkedalaman 1.5 meter, mungkin mata ibu ku sudah tidak sesehat dulu lagi, sehingga ia tak menyadari bahaya yang mengintai di depannya.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan ibuku, yang aku tahu saat itu, ibu sedang menangis kesakitan saat di bopong oleh seorang tukang ojek, terlihat darah yang mengucur dari paha ibuku, Ya Allah, sakit sekali melihat ibu ku seperti itu, salah satu tukang ojek menjelaskan padaku, bahwa mereka menemukan ibu ku di lubang saluran air, sedang meraung – raung minta tolong, ternyata jalan setapak itu, mempunyai lubang yang tak disadari oleh ibuku, ibu ku terperosok ke dalamnya…. Ya Allah…kenapa harus ibuku, kenapa saat itu aku sangat bodoh, mengapa aku terus – terusan sibuk dengan buku – buku ku…. Aku tahu besok ujian, tapi seharusnya bisa aku tinggalkan, seharusnya aku yang pergi untuk mengantar kacang itu, tokh uang mengantar kacang itu untuk biaya sekolahku, Ya Allah… aku rela menukar semua waktu bahagia di hidupku hanya untuk memutar kembali waktu…. Biar aku saja yang celaka malam itu, tidak perlu orang yang sangat aku cintai itu…!! Beliau sudah hampir meninggal saat melahirkan ku, dan sekarang beliau harus menanggung kehilangan salah satu kakinya hanya untuk biaya sekolahku…., malam itu ibuku tak berhenti menangis, ia kesakitan, ia menjerit sepanjang malam, dan aku…..aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan, aku hanya terduduk disampingnya sambil berlinangan air mata, apa yang bisa aku lakukan tanpa ibu ku yang hebat ini…..?? selama ini beliau yang membuat ku tetap bertahan hidup.

Setahun lebih, ibuku berada di pengobatan patah tulang, namun kakinya tak pulih seperti semula…. Karena ibu khawatir dengan biaya pengobatan yang besar, ibu memaksa ayah untuk mengajaknya pulang, ibu memaksa untuk berjalan dengan menggunakan tongkat kayu, betapa mirisnya saat ku lihat ibu ku, aku memeluknya, betapa dalam rasa bersalahku, dengan senyum yang masih terpahat di bibirnya ia masih dengan sabar bertanya “gimana sekolah lia….? Lancar…? Gimana ujiannya…., bagus – bagus gak nilainya…?” Subhanallah…. Ibuu….aku tak menjawab, aku hanya memeluknya, memeluknya dengan erat, rasa rindu, cinta, dan rasa bersalah membaur jadi satu rasa yang sulit kulukiskan.

Alhamdulillah Allah memberikan mu’zizatnya pada ibu ku, ini adalah tahun ke 6 setelah kecelakaan itu terjadi, ibu ku kini sudah bisa berjalan meski dengan tertatih, namun tak lagi menggunakan tongkat kayu itu lagi, tongkat kayu itu pun masih ku simpan, untuk mengingatkan ku bahwa tak ada ibu sehebat ibu ku….., hanya cintanya yang patut untuk ku balas dan kuperjuangkan, “bu… aku memang tak pernah mampu mengucapkan “aku cinta kamu bu” aku tak pernah berucap “aku rindu kamu bu” tahukah engkau bu, bukan aku enggan, tapi cinta dan rinduku padamu terlalu besar hanya untuk di ucapkan, bahkan jika mampu, akan kuberikan seluruh dunia ku hanya untuk membuatmu bahagia dan tetap tersenyum seperti ini, sungguh aku sangat mencintai mu bu, terimakasih karena 23 tahun yang lalu, engkau telah memperjuangkan hidupku, meskipun kata dokter hidupmu lah yang menjadi taruhannya, engkau tetap menginginkanku hidup, terima kasih buu”

Robbighfirli wali waalidaiya warhamhuma kama robbayani soghiro

http://www.unguband.com/index.php?mode=news




2 komentar:

http://adiwidget.com/flash/adiClock_Islamic_01s.swf